5. Elemen-Elemen dalam Formulasi Budaya (Cultural Formulation)
Konseptualisasi Kasus

5. Elemen-Elemen dalam Formulasi Budaya (Cultural Formulation)

15 Dec 2025


Cover

Formulasi budaya merupakan salah satu komponen penting dalam konseptualisasi kasus sebagaimana dikemukakan oleh Sperry dan Sperry. Komponen ini berperan dalam membantu praktisi klinis memahami konseli secara lebih utuh dengan mempertimbangkan pengaruh budaya terhadap pengalaman hidup, penderitaan psikologis, serta cara konseli memaknai dan mencari bantuan atas permasalahan yang dialaminya.

Formulasi budaya berfokus pada bagaimana kepercayaan, nilai, sikap, dan praktik budaya membentuk cara konseli memahami masalahnya, mengekspresikan gejala, serta merespons proses konseling. Berbagai kajian dan praktik klinis menunjukkan bahwa meskipun pentingnya formulasi budaya telah banyak diakui, penerapannya dalam praktik konseling dan psikoterapi masih belum optimal, baik pada praktisi maupun calon konselor. Padahal, dalam konteks praktik kesehatan mental modern, sensitivitas budaya merupakan kompetensi profesional yang bersifat esensial, bukan pilihan.

Pentingnya Formulasi Kultural dalam Konteks Indonesia

Pengalaman klinis menunjukkan bahwa meskipun sensitivitas budaya sangat penting, penerapannya dalam praktik seringkali masih terbatas. Padahal, di era modern, sensitivitas budaya merupakan mandat etis dan profesional, bukan lagi sekadar pilihan, dalam profesi kesehatan mental.

Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis, agama, dan budaya yang luar biasa. Mengabaikan faktor kultural sama dengan mengabaikan inti dari identitas konseli. Formulasi kultural membantu konselor untuk:

  • Memahami masalah konseli dari perspektif mereka sendiri, bukan hanya melalui lensa teori Barat.
  • Mengidentifikasi sumber daya kekuatan dan dukungan sosial (misalnya, keluarga besar, komunitas adat, atau organisasi keagamaan).
  • Merancang intervensi yang tidak hanya efektif secara klinis, tetapi juga diterima dan sesuai dengan norma kultural konseli.

Pengertian Formulasi Kultural

Secara formal, formulasi kultural adalah tinjauan sistematis terhadap faktor dan dinamika budaya yang relevan dengan kasus konseli. Ini adalah alat untuk menjawab pertanyaan kunci: “Apa peran budaya dalam permasalahan yang dialami konseli?”

Formulasi ini melengkapi formulasi klinis dengan memberikan pemahaman mendalam tentang identitas budaya konseli, tingkat adaptasi budaya, cara konseli menjelaskan masalahnya, dan bagaimana faktor budaya berinteraksi dengan dinamika kepribadian.

Empat Elemen Kunci dalam Formulasi Kultural

Formulasi budaya disusun berdasarkan empat elemen utama berikut.:

1. Cultural Identity (Identitas Budaya)

Elemen ini adalah dasar dari formulasi. Identitas budaya merujuk pada cara konseli melihat dan mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari kelompok etnis, suku, atau agama tertentu. Dalam konteks Indonesia, identitas ini sangat kompleks.

Contoh: Seorang konseli keturunan Jawa-Batak mungkin merasa terombang-ambing antara nilai-nilai keharmonisan (Jawa) dan nilai ketegasan/individualitas (Batak). Contoh lain adalah remaja yang hidup di perkotaan dan menghadapi ketegangan antara tradisi keluarga yang religius dengan nilai-nilai modern yang berkembang di lingkungannya. 

2. Cultural Stress and Acculturation (Stres Budaya dan Akulturasi)

Akulturasi adalah proses beradaptasi dengan budaya yang berbeda atau nilai-nilai baru, sering kali memicu stres akulturatif. Dalam konteks Indonesia, stres ini dapat terjadi pada:

  • Migrasi internal, yaitu individu yang berpindah dari desa ke kota besar, menghadapi perbedaan bahasa, norma, dan gaya hidup.
  • Konflik nilai, yaitu konflik antargenerasi, di mana orang tua memegang teguh tradisi (misalnya, perjodohan) sementara anak-anak lebih berakulturasi dengan nilai modern (individualitas).

Memahami tekanan ini membantu konselor melihat masalah konseli sebagai respons normal terhadap tekanan sosiokultural, bukan semata-mata sebagai patologi psikologis.

3. Cultural Explanation (Penjelasan Kultural Mengenai Penderitaan)

Elemen ini berfokus pada cara konseli menjelaskan penderitaan atau masalah mereka dari sudut pandang budaya, spiritual, atau kepercayaan tradisional. Konseli mungkin tidak menggunakan istilah klinis, melainkan ungkapan yang lebih familiar bagi mereka, misalnya:

  • Ungkapan somatik, seperti "sakit hati" atau "masuk angin", untuk mengekspresikan tekanan emosional.
  • Penjelasan spiritual, misalnya keyakinan tentang gangguan makhluk halus, santet, atau ujian dari Tuhan.
  • Pandangan fatalistik, seperti menganggap masalah sebagai nasib atau takdir yang harus diterima.

Dengan memahami penjelasan ini, konselor dapat membangun kepercayaan, menunjukkan rasa hormat, dan merancang intervensi yang sejalan dengan sistem kepercayaan konseli. Konselor juga perlu mengeksplorasi pengalaman konseli dengan praktik penyembuhan tradisional (misalnya, dukun, tabib, atau pemuka agama).

4. Cultural and/or Personality (Interaksi Budaya dan/atau Kepribadian)

Terakhir, konselor menilai perpaduan pengaruh antara dinamika budaya (tekanan sosial, norma) dan dinamika kepribadian (sifat bawaan, cara berpikir). Penilaian ini menentukan sejauh mana masalah konseli didominasi oleh faktor budaya atau faktor kepribadian.

Contoh: 

  • Dominasi faktor budaya (misalnya, 90% budaya): Konseli mengalami depresi akibat tekanan keluarga untuk menikah sesuai pilihan orang tua, meskipun ia ingin melanjutkan pendidikan.
  • Interaksi seimbang (misalnya, 55% budaya, 45% kepribadian): Konseli memiliki kecenderungan kepribadian yang pemalu, yang diperberat oleh tuntutan budaya untuk bersikap ramah dan patuh.

Dengan mengidentifikasi perpaduan ini, konselor dapat memilih strategi intervensi yang paling tepat; fokus pada manajemen stres dan mediasi keluarga (jika kultural dominan), atau terapi individu untuk perubahan pola pikir (jika kepribadian dominan).

Formulasi budaya merupakan komponen penting dalam konseptualisasi kasus yang memungkinkan konselor memahami konseli secara holistik. Dengan mengintegrasikan faktor budaya ke dalam proses asesmen dan perencanaan intervensi, konselor dapat meningkatkan sensitivitas budaya, efektivitas intervensi, serta kualitas hubungan terapeutik secara keseluruhan.


Materi selanjutnya klik di sini



Referensi:

Sperry, L., & Sperry, J. (2012). Case conceptualization: Mastering this competency with ease and confidence. Routledge.

Sperry, L., & Sperry, J. (2020). Case conceptualization: Mastering this competency with ease and confidence (2nd ed.). Routledge.


Tinggalkan Komentar